on Thursday, August 17, 2017
Peraturan Menteri mengenai Full Day School (FDS) ini memang sedang hangat-hangatnya di Indonesia. Banyak yang mempersoalkan, banyak pula yang mendukung. Saya termasuk yang mempersoalkan kebijakan ini.

Bagi sebagian besar yang mendukung beralasan, dan kebanyakan yang saya temui di media sosial, sistem FDS ini sudah dipraktekan semasa mereka bersekolah, yang saat ini kebanyakan sudah menjadi karyawan/bekerja, dan menganggap kebijakan ini adalah hal yang biasa, bukan hal yang baru. Yang paling parah, mereka berpendapat bagi yang menolak FDS adalah anak yang cengeng, bagi orang tua yang menolak adalah orang tua yang memanjakan anaknya, dan lain sebagainya.

Menjawab hal ini, saya coba komentari dari sisi pengalaman saya sendiri selama usia sekolah. Di lingkungan sekolah di Pekalongan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setelah jam sekolah umum biasanya siswa melanjutkan pendidikan agama di Madrasah Diniyah. Sementara bagi yang sudah bersekolah madrasah biasanya melanjutkan pendalaman agama di Pesantren. Selain itu, tak sedikit yang setelah pulang sekolah mereka membantu orang tua bekerja (termasuk saya).

Dengan situasi seperti ini, sungguh sangat tidak bermanfaat jika kebijakan FDS diberlakukan di Pekalongan. Banyak dari orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah umum karena ingin mendapatkan pendidikan umum yang terbaik. Sementara di madrasah akan kurang maksimal karena mata pelajaran yang diajarkan lebih banyak, sehingga porsi untuk pengetahuan umum jelas lebih sedikit dari sekolah umum. Maka dari itu, untuk mengcover pendidikan agama, orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah umum mendaftarkan anaknya di madrasah diniyah selepas sekolah.

Kondisi yang lain, banyak anak sekolah yang sepulang sekolah, membantu orang tuanya bekerja, tak lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan terutama untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya. Jadi jika ada yang beralasan, "Jangan cengeng ah, sekolah mah gak ada apa-apanya, cuma PR doank sama ulangan harian, belum ntar kalo udah kerja, baru tau rasanya capek kayak gimana" bisa dipastikan bahwa selama sekolah tidak pernah "bekerja" hanya fokus pada sekolahnya saja. Selain siswa, banyak juga pengajar yang mempunyai pekerjaan lain selain menjadi guru di sekolah terkait, tidak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Maka dari itu, sampai semua guru terjamin kesejahteraannya, saya kira FDS memberatkan bagi mereka.

Bagi warga NU, alasan pertama lebih dominan. Lalu, ada yang berkomentar nyinyir mengatakan bahwa "ngapain pada protes FDS, bilang kalo FDS bikin radikal? padahal di Tebuireng sudah menerapkan FDS dari dulu" sangat tidak paham konteks yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU. Yang dimaksud KH. Said Aqil Sirodj adalah sesuai dengan alasan pertama yang saya sampaikan, bahwa banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya ke madrasah diniyah setelah sekolah umum adalah agar mereka bisa memperdalam pendidikan agama, agar lebih paham dalam beragama dan kemudian tidak menjadi radikal karena agama Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin. Sementara sistem FDS di Tebuireng adalah kombinasi dari Sekolah Umum & Madrasah Diniyah, selain juga karena di sekolah tersebut siswa menginap di asrama sekolah, itulah yang kemudian disebut FDS. Sementara jika sekolah umum diberlakukan FDS, maka siswa tidak ada waktu lagi untuk mengikuti kegiatan Madrasah Diniyah.

Selain itu, apakah iya efektif kebijakan FDS ini diberlakukan di Indonesia, terutama untuk masa depan pendidikan di Indonesia? bukankah selama ini justru di negara yang maju pendidikannya malah memberlakukan jam sekolah yang lebih sedikit? karena ada batas waktu untuk siswa berkonsentrasi pada pelajaran di sekolah. Jika hal ini dipaksakan, justru pelajaran tak akan masuk ke siswa. Saya kira untuk memajukan pendidikan di Indonesia adalah peningkatan kualitas SDM pengajar yang inovatif bukan malah memberlakukan jam belajar yang memberatkan.

Tapi ya mau gimana lagi? di Indonesia sih tujuan pendidikan cuma untuk "lulus" dengan nilai baik sehingga dianggap "pintar" bukan bertujuan agar siswa "mengerti" atau "paham" akan apa yang diajarkan dan bagaimana pengaplikasiannya di kegiatan sehari-hari. Maka fokus kebijakan juga lebih kepada prosedur/standarisasi, bukan ke inovasi sistem kurikulum.

Sebagai gambaran, berikut kegiatan saya selama usia sekolah:

Saat SMP/Madrasah Tsanawiyah:
Hari aktif sekolah : Sabtu-Kamis (Jumat Libur)
06.30 : Berangkat sekolah
07.15 - 14.00 : Jam belajar di sekolah
14.30 : Bermain & membantu orang tua bekerja
15.30 : Mengaji di Madrasah Diniyah
18.15 - 19.00 : Mengaji Al Quran
19.00 - 20.00 : Belajar/mengerjakan PR

Saat SMA/Madrasah Aliyah:
Hari aktif sekolah : Sabtu-Kamis (Jumat Libur)
06.30 : Berangkat sekolah
07.15 - 14.00 : Jam belajar di sekolah
14.30 : Membantu orang tua bekerja
15.30 : Mengajar di Madrasah Diniyah
18.15 - 19.00 : Mengaji Al Quran
19.00 - 20.00 : Belajar/mengerjakan PR

Bayangkan jika saat itu FDS diterapkan, ada 2 kegiatan utama produktif yang terpaksa dihilangkan.

Oleh karena itu, saya sendiri menolak kebijakan FDS. Silakan saja bagi yang selama ini sudah FDS agar diteruskan, tapi jangan diwajibkan untuk sekolah yang lain, terutama yang belum siap. Untung Pak Presiden lebih pengertian dengan warga NU dengan mengatakan bahwa FDS tidak wajib diberlakukan ke semua sekolah.