Wawancara Khusus Bersama Anies Baswedan

on Saturday, May 12, 2012
Tahun lalu, tepatnya tanggal berapa saya lupa, Anies Baswedan datang ke kampus saya Universitas Dinonegoro Semarang mempromosikan program Indonesia Mengajarnya untuk para mahasiswa. Saya menghadiri acara itu dan memang acaranya sangat menarik. Benar-benar program yang sangat bagus. Saat itu pula saya yang menjabat sebagai Redpel salah satu produk di koran kampus mendapat tugas untuk wawancara beliau. Namun, teman saya M. Alfi meminta izin untuk menggantikan saya wawancara.

Singkat cerita wawancara sudah dilakukan dan data sudah didapat. Namun sayang, berhubung M. Alfi tercatat sebagai alumni dan sudah tidak menjabat sebagai pengelola, akhirnya tulisannya tidak bisa dimuat di produk. Sebenarnya bagi saya itu bukanlah masalah, hanya saja waktu itu saya harus mengikuti perintah atasan. Untuk itu, untuk menghargai usaha dari teman saya M. Alfi. berikut saya posting hasil wawancaranya dengan Anies Baswedan tentang pendidikan karakter untuk anak Indonesia:

Banyak kalangan menilai pendidikan karakter di sekolah masih lemah. Hal itu tercermin pada sering terjadinya tawuran antarpelajar. Di sisi lain, munculnya kasus kekerasan, korupsi, manipulasi, penyelahgunaan wewenang, mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan pengkhianatan terhadap amanat, menunjukkan bahwa karakter bangsa kita masih lemah.
Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah proses pendidikan kita selama ini kurang memperhatikan aspek pendidikan karekter? Model pendidikan karakter seperti apakah yang perlu diterapkan? Simak wawancara Manunggal bersama Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dan Ketua Yayasan Indonesia Mengajar berikut ini:

Pendidikan karakter yang dicita-citakan itu seperti apa? Sudah berhasilkah?
Pertama, berangkat dari tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi, tujuan pendidikan secara umum memiliki cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah, disini pengertian mencerdaskan harus dilihat secara lebih sepesifik. Sebenarnya tidak saja pengertiannya cerdas intelektual yang ingin dicapai tetapi harus dioperasionalkan lebih luas lagi yang kita sebut dengan kecerdasan holistik atau kecerdasan yang utuh. Mulai dari kecerdasan Intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan kinestetis yang semestinya ingin dicapai.


Sekarang telah dirumuskan sebuah visi pendidikan yang tujuannya untuk menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif. Seperti yang sebelumnya saya katakan sebelumnya, cerdas dan kompetitif juga tidak berarti cerdas intelektualnya harus punya kecerdasan yg lain, kecerdasan Intelektual, spiritual, emosional dan kinestetis itu tadi.
Maka pada saat itulah mulai kita lihat, saat ini pendidikan kita lebih berorientasi pada kecerdasan intelektual. Salah satu buktinya adalah UN. Lulusan ditentukan oleh UN. Sadar atau tidak pendidikan kita lebih berorientasi pada kecerdasan intelektual. Di sisi lain kita ketahui, siswa-siswa yang sudah lulus baik dari SD, SMP, SMA, dan PT, ada sesuatu hal yang mengkhawatirkan, diantaranya tidak terbentuknya pribadi yang utuh tadi.
Nah, kenakalan remaja sudah mengkhawatirkan  sejak SD dan SMP. Dulunya, kenakalan remaja yang sering ditemui pada anak usia  SMA. Sekarang di SMP pun sudah mulai ditemui kenakalan remaja yang bukan kenakalan anak-anak tetapi sudah menjurus pada “kenakalan” yang dilakukan orang dewasa. Seperti sudah ada tindakan pencurian, pornografi, tawuran, miras, dan lain-lain.

Apakah hal itu yang menyebabkan  pendidikan karakter di sekolah dinilai kurang berhasil?
Jangan berkata kurang berhasil tetapi dorong optimisme. Soal pendidikan berkarakter menurut saya, karakter mulainya dari rumah. Jadi yang dididik berkarakter adalah orang tua. Orang tua harus dididik untuk punya karakter sehingga dirumah ada suasana keluarga yang punya karakter. Integritas itu dibangun disitu. Anak jujur atau tidak tergantung orang tua jujur atau tidak. Bukan masalah orang tua mempidatokan, orang tua pasti mempidatokan untuk jujur. Namun yang kita butuhkan orang tua mempraktikkan kejujuran di rumah. Mempraktikkan transparansi  misalnya di rumah. Mempraktikkan prinsip-prinsip yang dalam bahasa agama biasa disebut akhlakul karimah di rumah, sehingga anak-anak bisa belajar dengan cara mencontoh.
Nah, disekolah juga begitu, guru-guru yang harus diajari pendidikan. Siapkan guru-guru untuk punya karakter  anak-anak mencontoh. Kita ini ketika membicarakan pendidikan karaktrer selalu berasumsi yang harus dididik harus punya karakter adalah anak-anak, asumsinya orang tua punya karakter. Lha, di republik ini korupsi ada dimana-mana. Artinya orang tua pun tidak punya karakter yang baik untuk dicontoh. Jadi yang harus dididik untuk punya karater orang tua dan guru, biarkan anak-anak untuk meniru.
Tapi kalau kita lihat sekarang yang dilakukan di sekolah-sekolah, pendidikan berkarakter itu diberikan kesannya mapel untuk punya karakter. Percayalah itu tidak akan berhasil jika dilakukan dengan cara seperti itu

Selain itu apakah di sekolah tidak ada pelajaran yang dapat membentuk karakter siswa?

Semestinya ada. Misalnya pendidikan agama dan PPKn semestinya ada unsur kesana tetapi fokusnya tidak kepada pembiasaan, fokusnya lebih banyak  ke teoritis. Misalnya pendidikan agama, lebih banyak mengenai, bicara mengenai teori-teori agama, PPKn lebih banyak berbicara ke teori-teori seperti pasal-pasal.
Dalam pelaksanaan yang pendidikan karakter semestinya butuhkan tidak banyak karena tuntutanya seperti UN, ukuran evaluasinya selalu saja pada hal-hal yang bersifat teoritis. Mereka (siswa) di tes dengan itu. Nah, sekolah juga  diukur prestasinya lewat itu. Misalkan, Dinas Pendidikan Nasional mengukur prestasi sekolah lewat UN yang diselenggarakan, lha mbok sekolahan sebagus apa pun, pendidikan karakternya hebat kalau UN nya jeblok langsung divonis, kepala sekolahnya kalau perlu diganti. Itu kan nyata, bukti bahwa pendidikan kita cenderung berorientasi pada kecerdasan intelektual.

Nah, seharusnya seperti apa pembelajaran karakter yang baik kepada siswa?
Harusnya, sekarang kita harus sadar, kenakalan mulai banyak seperti tawuran di SMP, SMA, maupun di PT. Nah lebih lagi, mereka nanti setelah lulus, mereka mempunyai budaya-budaya instant. Jadi mereka maunya misalkan lulus harus jadi pegawai dengan mudah dan cepat. Budaya-budaya ini terjadi karena pendididkan tidak terbangun. Maka sekarang kita mulai terhentak, oleh peringatan itu. Kesimpulannya kita harus tahu bahwa pendidikan karakter sangat penting.
Sekarang kita sepakati bahwa pendidikan karakter tidak bisa hanya dimonopoli oleh mapel tertentu. Semua mapel punya kesempatan dan tanggung jawab untuk membentu karakter anak. Caranya melalui praktik-praktik baik di sekolahan yang harus dilakukan. Mulai mereka (siswa-RED) memulai masuk kelas misalnya hormat kepada guru dengan cara sebelum masuk gurunya menunggu di depan kelas lalu salaman.
Dari situ, guru sekaligus dapat mengenali anak dari cara berpakaian dan cara berperilaku. Nanti bisa ditindak lanjuti jika ada anak yang kurang berperilaku baik dengan bimbingan khusus. Lalu ketika masuk kelas, seorang guru, semuanya (semua guru maple-RED) mempunyai kewajiban memberikan atau menyisihkan waktu sebelum memulai pelajaran menyampaikan hal-hal yang baik misalkan memberikan nasihat dengan kata-kata yang bijak sehingga anak-anak punya contoh yang baik dari guru.
Berikutnya, sekolah  menyiapkan fasilitasi untuk praktik-praktik baik itu. Misalkan ada tempat sampah untuk membuang sampah pada tempatnya, dan sekolah memberiikan kesempatan waktu-waktu untuk beribadah sesuai agama-agamanya dengan contoh dari guru-gurunya. Dibiasakan dan mendorong anak untuk melakukan senyum dan sapa dengan contoh guru. Sapa guru dengan namanya, jangan biarkan anak menyapa guru dengan misalnyaBu Biologi, Pak Matematika, dibiasakan untuk menyebut nama gurunya, ini salah satu kebiasaan baik untuk membentuk mental siswa. Anak yang kelasnya lebih rendah ke anak yang kelasnya lebih tinggi dibiasakan menyebut  dengan pembuka kata “mas” atau “mbak” untuk memberikan pelajaran sopan santun. Hal-hal itu harus dipraktikkan di sekolah secara baik.

Lalu solusi yang paling tepat sebagai awal untuk mengatasi persoalan ini?
Menurut saya kalau semua guru mempunyai rasa tanggung jawab terhadap itu maka bukan saja guru yang katakan di depan kelas tetapi juga yang guru lakukan di luar kelas. Maka akan terbangun lingkungan yang berkarakter. Pendidikan karakter harus dibangun dalam sebuah lingkungan, pertama sekolah dan sekolah harus berkomitmen dengan rumah. Dalam hal ini, yang kedua yang harus dibangun adalah kebiasaan baik yang diajarkan disekolah juga harus dilakukan anak ketika di rumah. Caranya dengan memanggil orang tua murid untuk mensosialisaikan program pendidikan karakter itu tadi. Dengan adanya komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan rumah maka pendidikan karakter dapat tercapai dalam keseharian si anak.
Tak kalah pentingnya, panggil orang tua ke sekolah untuk belajar menjadi orang tua yang baik yang punya karakter. Jangan hanya panggil orang tua hanya untuk dimintai sumbangan saja. Panggil orang tua untuk diberi ilmu agar mereka bisa mendidik anak dengan baik.
Kalau orang tua itu punya teknik untuk mendidik anak, maka dia bisa mengarahkan anak. Ada usia anak saat memiliki energi lebih. Energi lebih itu bisa dirangsang untuk berbagai macam kegiatan. Akhirnya, kembali bagaimana kita bisa mengelolanya. Jadi, yang penting untuk membentuk karakter anak fokuskanlah pada pembinaan karakter yang dilakukan dengan contoh orang tua dan guru, di sekolah dan di rumah.

0 comments:

Post a Comment